“Senja tak selalu di barat langit, tak selalu di ujung pandangan
terjauh mu. Kadang bersemayam di alam pikiranmu, juga menetap di sudut ruang
rindu mu.”
Sulit menuangkan segala perasaan dalam kata kata.
memang benar, aku bukanlah seorang perangkai kata. aku hanya seorang pembaca
yang buta, tetapi memang harus aku luapkan. bukan ingin seluruh dunia
tahu, aku ingin semua orang melihat bahwa aku ada.
Tidakkah cukup jelas wujudku?
Aku senang berada sendiri, tanpa harus terusik oleh
sosok sosok munafik di dunia ini. Tapi kembali kepada realita, aku tidak pernah
sendiri. Aku selalu berada dalam keramaian. Bising terdengar, ingin meledak
gendang telinga. Ramai, tapi tak ada yang memperhatikan. Aku sendiri, di tengah
keramaian. ingin rasanya aku berteriak, tapi bagi mereka, aku hanyalah
gadis bisu. Jelas bukan aku yang bisu, hanya mereka yang tuli yang tidak bisa
mendengar rintihan hati di tengah kebisingan.
Ini tentang perasaan
Ya tentang Perasaan yang mana akulah
merasanya.
Perasaanku. Bukan perasaanmu (yang tidak
merasakan rasa yang sama).
Aku tidak tahu apakah kamu tahu.
Itu pikiranmu.
Pikiranmu (yang tidak bisa kumengerti
itu), bukan pikiranku.
Sekali lagi, ini perasaan.
Perasaan yang menjelma sebagai diktator,
karena ia mulai berkuasa dan berjalan sendiri dan memaksaku merasakan fase -
fase tidak menyenangkan ini. Perasaan yang tidak tahu apa maunya, kemana
tujuannya, dan bagaimana harus memperlakukannya.
Kurasa, ini juga termasuk TitahNya, tentang cinta yang
datang terlambat ke hatiku. Bukan,
ini bukan tentang cintamu, tapi cintaku kepadamu.
“Bagiku, Hujan
adalah kerinduan yang terlukis dalam tiap jatuhnya ke bumi. Hujan adalah sebuah
pertemuan tertunda yang mengajarkan kesabaran dalam penantian.”
Merupakan
sebuah ironi ketika kamu, sosok yang aku dambakan, mendambakan sosok lain yang
mungkin juga mendambakan orang lain.
Ini tentang penantian.
Ya tentang penantian yang sama dengan penantian -
penantian pada umumnya
Ada rasa tidak sabar dan penuh harapan.
Seperti penantianku (untuk hidupku, bukan kamu).
Sekali lagi, ini penantian.
Aku menanti saat perasaanku berdamai dengan diriku.
Aku menanti saat penyesalan berbuah perbaikan -
perbaikan.
Aku menanti saat..
..kamu tidak
berhak lagi atas air mataku. Setetespun.
Yang
paling menyedihkan bukanlah lamanya penantian, tp ketika kita melihat batas
kesabaran dan kemampuan lalu memutuskan untuk berhenti mencintai. Belum pernah aku berurusan dengan sesuatu yang lebih sulit daripada
jiwaku sendiri, yang kadang-kadang membantu aku, dan kadang-kadang menentangku. Aku
sendiri tidak mengerti dengan perasaanku, penantianku yang akan berujung pada
sebuah cerita yang menarik dan manis atau bahkan berujung pada sebuah
penyesalan dan menyakitkan. Rasanya seperti kamu sudah memakai kacamata tapi masih tidak dapat
melihat dengan jelas. Karena pandanganmu tertutup oleh airmata...

Senja
ini hujan pun turun lagi seolah mengerti, aku hanya berdiri dijendela kamarku
melihat satu per satu tetesan air hujan yang jatuh. Aku tidak suka suara hujan
yang berisik tapi aku suka ketika gerimis telah datang dan rintik-rintiknya
mampu membuat hati berdamai dengan perasaan dan jiwaku sendiri. Mungkin aku
hanya perlu sedikit istirahat dari pergelutan hati, pikiran, jiwa dan perasaan
ku ini yang selalu tak ku mengerti apa maunya.
Kau tahu mengapa pelangi itu
indah?
karena
warnanya? karena bentuknya?
bukan itu...
karena dia hadir
ketika hujan berhenti, seperti itu pula aku mengakhiri ini semua.
nda_